BERITA INFORMASI - Pepatah ‘banyak anak banyak rejeki’ tidak berlaku bagi keluarga Supriyanto (36).
Karena anaknya ada enam, Supriyanto kini bingung memberi nafkah. Malahan tiga anaknya yang masuk usia sekolah SD kini malah drop out.
Supriyanto warga Dusun Kujon, Desa/Kecamatan Warujayeng, Kabupaten Nganjuk sehari-hari hanyalah buruh serabutan. Sehingga penghasilan yang diperolehnya juga tidak menentu.
Jika order banyak, hasilnya juga lumayan, namun kalau order sepi penghasilan juga tidak ada. Padahal dari penghasilan yang diperolehnya ada tujuh anggota keluarganya yang harus mendapatkan nafkah.
Niko anak tertua Supriyanto saat ini telah berusia 13 tahun terpaksa putus sekolah saat masih kelas 5 SD. Pemicunya orangtuanya tidak punya cukup biaya untuk membeli perlengkapan sekolah dan buku.
“Untuk makan saja sehari-hari kami serba kekurangan. Kalau untuk membiayai sekolah uang dari mana lagi,” ungkapnya.
Supriyanto malahan mengungkapkan gejolak hatinya terkait pendidikan SD gratis yang didengungkan selama ini ternyata tidak sesuai kenyataannya. Karena ketiga anaknya yang masuk sekolah SD ternyata masih butuh biaya.
“Katanya gratis, tapi kami masih ditarik macam-macam, ada beli seragam dan buku,” ungkapnya.
Sehingga ketiga anaknya yang mestinya bersekolah SD saat ini tidak mengenyam pendidikan. Sementara tiga anaknya yang lain saat ini masih usia balita yang terkecil usia setahun.
Meski masuk kategori warga sangat tidak mampu, Supriyanto hanya mendapatkan bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin). Itu pun jumlah yang diterima setiap bulan juga tidak menentu.
“Kalau tak punya beras kami lebih banyak berpuasa, atau makan sehari sekali,” tambahnya.
Sementara bantuan lainnya seperti BPJS yang dibiayai pemerintah juga tidak diterimanya. Termasuk kartu pintar untuk sekolah anaknya juga tidak didapatnya.
Keluarga Supriyanto juga tidak memiliki rumah sendiri. Rumah sangat sederhana yang menjadi tempat tinggalnya selama ini tak ubahnya gubuk ukuran 3 x 5 meter.
Di rumah itu setiap hari menjadi tempat tingga dia bersama Suwarti (32) istrinya dan ke enam anaknya.
Rumah gubuk ini hanya berdinding sesek dan sisa kain terpal. Sehingga saat ada hujan deras airnya masuk ke dalam rumah. Termasuk saat malam membuat anak-anaknya kedinginan.
“Di rumah ini kami hanya numpang di tanah milik Pakde Kasipan,” ungkapnya.
Supriyanto semula tak membayangkan bakal memiliki keluarga besar sampai dengan enam anak. Namun untuk ikut Keluarga Berencana (KB) juga tidak punya biaya.
“Ikut KB kan harus membayar, sekarang tidak ada yang gratis,” ujarnya.
Terkait dengan kelahiran anak-anaknya juga penuh dengan perjuangan.
Malahan anak bungsunya dilahirkan di jalan depan rumah bidan karena bidan desa yang dimintai pertolongan tidak segera membukakan pintu.
Di tengah beban berat yang dialami, Supriyanto hanya berharap mendapatkan pekerjaan yang hasilnya mampu untuk menghidupi seluruh keluarganya. Karena pekerjaan yang ada selama ini membuat batu bata hasilnya tidak cukup.
“Tiga hari sekali kami hanya dapat upah Rp 90.000,” tuturnya.
Karena anaknya ada enam, Supriyanto kini bingung memberi nafkah. Malahan tiga anaknya yang masuk usia sekolah SD kini malah drop out.
Supriyanto warga Dusun Kujon, Desa/Kecamatan Warujayeng, Kabupaten Nganjuk sehari-hari hanyalah buruh serabutan. Sehingga penghasilan yang diperolehnya juga tidak menentu.
Jika order banyak, hasilnya juga lumayan, namun kalau order sepi penghasilan juga tidak ada. Padahal dari penghasilan yang diperolehnya ada tujuh anggota keluarganya yang harus mendapatkan nafkah.
Niko anak tertua Supriyanto saat ini telah berusia 13 tahun terpaksa putus sekolah saat masih kelas 5 SD. Pemicunya orangtuanya tidak punya cukup biaya untuk membeli perlengkapan sekolah dan buku.
“Untuk makan saja sehari-hari kami serba kekurangan. Kalau untuk membiayai sekolah uang dari mana lagi,” ungkapnya.
Supriyanto malahan mengungkapkan gejolak hatinya terkait pendidikan SD gratis yang didengungkan selama ini ternyata tidak sesuai kenyataannya. Karena ketiga anaknya yang masuk sekolah SD ternyata masih butuh biaya.
“Katanya gratis, tapi kami masih ditarik macam-macam, ada beli seragam dan buku,” ungkapnya.
Sehingga ketiga anaknya yang mestinya bersekolah SD saat ini tidak mengenyam pendidikan. Sementara tiga anaknya yang lain saat ini masih usia balita yang terkecil usia setahun.
Meski masuk kategori warga sangat tidak mampu, Supriyanto hanya mendapatkan bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin). Itu pun jumlah yang diterima setiap bulan juga tidak menentu.
“Kalau tak punya beras kami lebih banyak berpuasa, atau makan sehari sekali,” tambahnya.
Sementara bantuan lainnya seperti BPJS yang dibiayai pemerintah juga tidak diterimanya. Termasuk kartu pintar untuk sekolah anaknya juga tidak didapatnya.
Keluarga Supriyanto juga tidak memiliki rumah sendiri. Rumah sangat sederhana yang menjadi tempat tinggalnya selama ini tak ubahnya gubuk ukuran 3 x 5 meter.
Di rumah itu setiap hari menjadi tempat tingga dia bersama Suwarti (32) istrinya dan ke enam anaknya.
Rumah gubuk ini hanya berdinding sesek dan sisa kain terpal. Sehingga saat ada hujan deras airnya masuk ke dalam rumah. Termasuk saat malam membuat anak-anaknya kedinginan.
“Di rumah ini kami hanya numpang di tanah milik Pakde Kasipan,” ungkapnya.
Supriyanto semula tak membayangkan bakal memiliki keluarga besar sampai dengan enam anak. Namun untuk ikut Keluarga Berencana (KB) juga tidak punya biaya.
“Ikut KB kan harus membayar, sekarang tidak ada yang gratis,” ujarnya.
Terkait dengan kelahiran anak-anaknya juga penuh dengan perjuangan.
Malahan anak bungsunya dilahirkan di jalan depan rumah bidan karena bidan desa yang dimintai pertolongan tidak segera membukakan pintu.
Di tengah beban berat yang dialami, Supriyanto hanya berharap mendapatkan pekerjaan yang hasilnya mampu untuk menghidupi seluruh keluarganya. Karena pekerjaan yang ada selama ini membuat batu bata hasilnya tidak cukup.
“Tiga hari sekali kami hanya dapat upah Rp 90.000,” tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar